Thursday, April 7, 2011

Indonesia Kekurangan Akuntan Publik

Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di kawasan ASEAN, jumlahnya sangat jauh tertinggal. Padahal, berdasarkan UU Perseroan Terbatas, perusahaan yang memiliki omset minimal Rp 50 miliar, wajib diaudit oleh akuntan publik.

“Jumlah akuntan publik di Indonesia hingga 31 Maret 2011 baru 926 dari total penduduk 237 juta jiwa. Singapura dengan jumlah penduduknya sekitar lima juta, memiliki 15.120 orang akuntan publik. Malaysia dengan jumlah penduduk sekitar 25 juta jiwa, memiliki 2.460 akuntan publik,” kata Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Tia Adityasih, dalam percakanan dengan “PRLM” di Kantor IAPI, Jln. Kapten Piere TandeanNomor 1, Jakarta Selatan, Senin (4/4).

Menurut Tia, pekerjaan mengaudit perusahaan di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data dari Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan tahun 2010, wajib pajak badan diperkirakan sekitar 1,8 juta (baik berupa PT, CV, Koperasi, Perhimpunan dan lain-lain).

Dari 1,8 juta wajib pajak badan, yang memiliki omset Rp 50 miliar diperkirakan sekitar 400.000 perusahaan. “Ini artinya, jika setiap satu akuntan publik melakukan audit sebanyak 40 wajib pajab badan, maka Indonesia memerlukan sekitar 10.000 akuntan publik,” kata Tia yang hingga kini menjadi tenaga ahli di Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) RI bidang Pengembangan Profesi Akuntan dan Peningkatan Kualitas Pemeriksaan.

Tia menuturkan, Filipina dengan jumlah penduduk sekitar 88 juta jiwa memiliki 15.020 orang, Thailand dengan penduduk sekitar 66 juta jiwa memiliki 6.070 akuntan publik dan Vietnam dengan jumlah penduduk sekitar 85 juta jiwa memiliki 1.500 akuntan publik.

Ia mengharapkan, ke depan minat generasi muda Sarjana Ekonomi jurusan Akuntansi semakin meningkat, seiring dengan kemungkinan dilakukannya beberapa perubahan terhadap persyarakat menjadi akutan publik.

“Mungkin persyarakatan sekarang dirasakan terlalu lama dan panjang. Sementara dengan lulusan yang sama, lantas seseorang melamar pekerjaan di instansi atau perusahaan swasta, jenjangnya lebih pendek,” ujarnya.

Panjangnya persyaratan itu dimulai setelah lulus S1 Fakultas Ekonomi, jurusan akuntansi kemudian harus diikuti dengan mengikuti program pendidikan akuntansi (PPA) selama dua semester. Ada empat puluh Perguruan Tinggi penyelenggara program ini. Setelah memperoleh tanda kelulusan PPA, kemudian menyampaikan ke Kementerian Keuangan agar mendapatkan register akuntansi. Agar bisa menjadi akuntan publik, seseorang harus memiliki pengalaman kerja minimal lima tahun atau 1.000 jam di Kantor Akuntan Publik.

“Dari 1000 jam pengalaman kerja itu, 500 jam di antaranya seseorang harus menduduki jabatan setingkat suvervisi atau ketua tim. Jadi, persyaratannya dirasa panjang, sehingga kemungkinan banyak lulusan S1 Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi, kurang tertaring,” ujarnya.

Tia juga mengharapkan agar DPR bisa menyetujui RUU tentang Akuntan Publik menjadi UU.

“Hari Selasa, DPR kan mau menyetujuinya. Jika sudah diundangkan, akuntan publik mempunyai payung hukum yang lebih kuat dibandingkan selama ini yang hanya bersandar pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 tahun 2008. Jadi, jika sudah disetujui menjadi UU, maka ada perlindungan dari akuntan publik palsu,” jelasnya. (Pikiran Rakyat Online)

No comments:

Post a Comment